Belajar Toleransi Dari Desa Banuroja (Refleksi Natal 2023)

Oleh : Arman Mohamad

Tahun 2023 sebagai mana seperti tahun-tahun sebelumnya Saya banyak kali menghadiri perayaan natal mewakili Pemerintah, sekaligus menyampaikan sambutan dipenghujung acara penutup setelah rangkaian ibadah natal. Tema sambutan saya seputaran ajakan untuk menjaga kehidupan yang damai dan harmoni diantara sesama pemeluk agama. Banuroja adalah nama salah satu Desa di Kecamatan Randangan yang selalu menjadi rujukan isi sambutan saya untuk melukiskan contoh kongkrit kehidupan damai antar umat beragama di Kabupaten Pohuwato-Gorontalo.

Beberapa dekade pasca Orde Baru, Indonesia mengalami darurat toleransi. Beberapa peristiwa kelam bernuansa sara terjadi hampir diseluruh wilayah Indonesia yang berprinsip “Bhineka Tunggal Ika” yang bermakna berbeda namun tetap satu. Dari rentetan peristiwa itu ada yang berat, sedang, dan ringan, yang paling terakhir adalah peristiwa bentrok dua kubu ormas di Kota Bitung, Sulut yang dipicu oleh aksi bela Palestina vs Bela Israel yang menelan korban jiwa.

Dalam waktu bersamaan  pula dengan peristiwa kerusuhan bernuansa SARA itu saya sedang menghabiskan kembali pembacaan lembaran-lembaran  buku karya Maria Rosa Menocal Seorang peneliti sejarah dan kebudayaan Universitas Pennsylvania ; “The Ornament of the World, How Muslim, Jews and Christians Created a Culture of Tolerance in Medieval Spain”, yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan judul “Surga di Andalusia” yang mengisahkan kehidupan harmoni umat Muslim, Yahudi dan Nasrani di Spayol pada masa pemerintahan Abd Al-Rahman pangeran terakhir Dinasti Umayyah di benua Eropa.

Andalusia sebagai pusat pemerintahan muslim, sebagaimana mewarisi tradisi Islam dari leluhur mereka di tanah Arab memperlakukan kaum Yahudi dan Nasrani dengan sangat Istimewa, menjamin hak-hak hidup dan hak beribadah  dengan damai sebagaimana Al-Quran menyebut keturunan Nabi Ibrahim pengikut Nabi Musa dan Nabi Isa itu dengan sebutan Ahlul kitab (Kaum penerima wahyu terdahulu) serta menggolongkan mereka sebagai Kaum Zimmi yaitu sekolompok masyarakt non muslim dibawah perlindungan dan kekuasaan pemerintahan Islam. Sebagai Kaum Zimmi mereka diikat oleh beberapa aturan pembatasan dan kewajiban yang mereka patuhi dengan penuh keikhlasan diantaranya : Sebagai balasan jaminan atas kemerdekaan beragama dan hak-hak istimewa yang mereka miliki maka Yahudi dan Nasrani diwajibkan membayar pajak khusus. Untuk menjamin saling percaya kaum Yahudi dan Nasrani dilarang mengajak umat Islam untuk berpindah agama, dilarang membangun rumah ibadah baru dan mempertontonkan symbol-simbol ibadah di depan umum. Pembatasan ini dimaksudkan untuk melindungi keberadaan mereka dari gesekan yang dapat menyulut api perpecahan karena mereka hidup ditengah-tengah umat muslim serta dibawah perlindungan pemerintahan Islam. Kehidupan penuh toleran ini mengantarkan kehadiran Islam berlangsung kurang lebih 700 tahun lamanya di benua Eropa. Sampai pada 1492 kota-kota yang dibangun oleh umat Islam di Andalusia di bumihanguskan.

Masih dalam suasana  merenungi  degradasi nilai-nilai toleransi umat beragama di bumi Bhineka Tunggal Ika  Indonesia, Saya memutar kembali ingatan saya tentang pesan kehidupan penuh toleransi yang disampaikan melalui salah satu tulisan seorang Peneliti senior The Wahid Institute, Rumadi, yang juga dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta  dengan judul “Mencari Teladan Toleransi” yang dimuat Kompas 14 Mei 2012 yang mengisahkan pengalamnnya menelusuri kehidupan harmoni umat beragama yang berlatar belakang suku yang beragam di desa Banuroja Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo.Umat beragama di tempat itu  justru hidup damai dan tidak terpengaruh oleh  konflik yang berlatar belakang SARA yang terjadi di Poso Sulawesi Tengah yang hanya berjarak  beberapa ratus kilometer ke arah barat desa Banuroja.Kehidupan yang damai itu tercermin pula dari nama BANUROJA  yang sesungguhnya  merupakan singkatan dari Bali, Nusa Tenggara, Gorontalo, Jawa, yaitu nama-nama etnis yang mendiami desa itu.seperti digambarkan Rumadi bahwa memasuki Desa Banuroja, Kita akan merasa memasuki perkampungan Bali. Rumah-rumah dengan Pura di halaman berderet sepanjang jalan. Beberapa ratus meter kemudian ada pesantren dan masjid cukup megah. Santrinya tak kurang dari 800 orang atau bahkan lebih. Pesantren bernama Salafiyah Syafiiyah itu di asuh oleh Seorang Kiyai transmigran dari Cirebon, KH.Abdul Ghafir Nawawi (sekarang beliau sudah wafat dan pengasuhan ponpes dieturuskan oleh keluarganya*penulis)

Kiayi Ghafir, demikian biasa disebut, merintis pesantren itu sejak awal 1980-an. Kini dialah yang menjadi jangkar dari Desa Banuroja. Pandangan-pandangan keagamaannya yang toleran, terbuka, menjadikan kiayi Ghafir tempat “berteduh” masyarakat setempat yang sangat beragam.

Tidak jauh dari pesantren berdiri Pura Desa  yang cukup luas. Disebelahnya lagi ada Gereja Protestan Indonesia Gorontalo dan Gereja Pantekosta. Demikianlah reportase Rumadi yang dengan detail meggambarkan kondisi serta denyut nadi kehidupan masyarakat Desa Banuroja yang harmonis. Sungguh luar biasa kehidupan masyarakat Desa Banuroja yang sebagaian besar penduduknya adalah transmigran.

Ternyata belajar toleransi beragama tidak perlu mencarinya di kota-kota mertropolis yang dihuni masyarakat modern yang berpendidikan tinggi, ataupun  di negeri yang mengklaim sebagai penganut hukum syariah, tapi justru kehidupan saling pengertian itu dapat kita jumpai pada masyarakat desa yang hidup terpencil dikaki bukit dengan rata-rata berpendidikan rendah namun dapat mewujudkan nilai-nilai sakral  ajaran agama yang diperkaya oleh nilai-nilai luhur budaya secara nyata. Kondisi kehidupan harmoni masyarakat pedesaan  ini membentuk kristalisasi sikap yang didasarkan pada kesamaan derajat, tujuan hidup dan ikatan kekeluargaan sebagai sesama masyarakat agraris. Jika Kita telusuri pinggiran negeri ini kita akan menjumpai begitu banyaknya tempat dan masyarakat yang merajut nilai-nilai kearifan lokal yang hidup dan tumbuh membalut rasa kebersamaan umat beragama. inilah kekayaan yang tidak ternilai harganya yang Kita miliki sepanjang masa.

Sebagai orang yang lahir dan tinggal di Kabupaten Pohuwato saya terenyuh membaca tulisan Rumadi yang singkat itu tetapi resonansinya dapat memberi pelajaran dan menyebarkan misi damai kepada seluruh umat beragama bukan hanya saja di Indonesia tetapi juga dunia. Memadukan kehidupan harmoni itu sebetulnya hanya sederhana yang paling dibutuhkan adalah keikhlasan, saling menerima dan menumbuhkan sikap bahwa klaim kebenaran itu hanyalah milik sang Pencipta.

Alkisah Sultan Saladin Panglima Perang Muslim yang sangat berwibawa, paling ditakuti musuh dimedan perang  namun sangat lembut hatinya pernah bertanya kepada seorang  Yahudi tentang manakah yang paling benar ketiga agama anak-anak Ibrahim. Si Yahudi memberi jawaban kepada sang Sultan yang dalam sejarah Islam dikenal dengan nama Salahuddin Al-Ayyubi sebagai berikut:

Seorang Raja sebuah Negeri ingin mewariskan sebuah cincin emas pusaka milik leluhur mereka secara turun temurun kepada anak-anaknya yang berjumlah 3 orang. Karena cincin pusaka ini hanya satu buah sementara Raja meiliki 3 orang anak yang berhak mewarisi kerajaanya, maka Raja meminta kepada ahli pembuat cincin dikerajaannya untuk  membuatkan dua buah cincin tiruan yang sama persis dengan cincin yang asli. Setelah 3 buah cincin itu telah ada ditangan Raja, maka kemudian sang Raja menyerahkan cincin warisan kepada anak-anaknya sekaligus dengan pembagian   wilayah  kerajaan. Ketiga anak raja itu tidak pernah tahu siapa yang memegang cincin asli dan palsu yang tahu hanyalah Raja itu sendiri. Jawaban Yahudi ini tidak membuat  Sultan Saladin tersinggung ataupun si Yahudi merasa takut memberi jawaban atas pertanyaan seorang panglima perang yang berbeda agama dengan dirinya. Pesan dari ilustrasi cerita ini menggambarkan tingkat tenggang rasa masyarakat yang berbeda agama pada masa itu sehingga melahirkan kehidupan yang penuh toleransi yang tercatat dalam sejarah Andalusia.

Adakah kaitan antara Banuroja sebuah desa terpencil di pedalaman Gorontalo dengan kisah indah Andalusia sebuah kerajaan Islam pada masa kekuasan dinasti Umayyah di daratan Spanyol. Tentu keduanya tidak berkaitan erat kecuali jika kita pandang dari sisi kehidupan masyarakatnya yang hidup penuh  toleransi  yang dilukiskan sejarah pada zamannya masing-masing.

Meskipun masih banyak tempat lain di dunia ini yang pantas disadingkan untuk melambangkan kekaguman kita  atas nilai-nilai kebersamaan yang dibangun oleh kedua masyarakatnya yang tinggal jauh terpisah baik oleh waktu maupun jarak, namun Banuroja dan Andalusia cukup memadai untuk sekedar menggambarkan kehidupan umat yang hidup damai penuh taburan kesejukan pada rentang zaman yang jauh berbeda.

Lalu mengapa kehidupan yang toleran itu seolah-olah menjadi hal yang langka di zaman modern saat ini. Apakah simbol fanatisme adalah faktor pemicu keruhnya hubungan antar umat beragama di Indonesia? atau ada faktor hubungan sosial lain yang turut mendorong dan memancing emosi masyarakat sehingga mereka selalu menjadikan agama sebagai pembenar untuk menyerang dan menyakiti kelompok lain yang berbeda?. Kita patut mempelajarinya agar kasus bernuansa SARA tidak akan terulang lagi dikemudian hari. Kita harus mampu memutus mata rantai virus kebencian  itu agar tidak akan merambah masyarakat lain yang telah hidup damai di daerahnya masing-masing. Betapa bangganya Kita menjadi masyarakat Indonesia, Negeri yang digambarkan para pengelana dunia sebagai sepotong surga yang jatuh ke bumi. Kebanggaan yang sama juga akan terpatri di dada umat beragama yang mendaiami negeri ini karena di sini, di tanah Indonesia kita hidup rukun dan damai.

Selamat merayakan natal 25 desember 2023 dan menyongson tahun baru 1 Januari 2024. Semoga damai dan suka cita terus merangkul kita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

*Penulis adalah penggiat literasi tentang agama dan Kebudayaan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *